Tahun pembelajaran baru masih beberapa
bulan ke depan. Namun, geliat mendapatkan siswa baru telah gencar
digerakkan. Bagaimanapun, adanya siswa adalah keniscayaan bagi kehidupan
sebuah sekolah.
Meski adanya siswa sebuah keniscayaan
bagi keberlangsungan sekolah, adalah tragedi apabila demi
keberlangsungan hidup sekolah, siswa hanyalah angka. Pada kondisi itu,
siswa tak lagi disikapi dan digulati sebagai pribadi. Ia tak lebih
sarana untuk menjaga keberlangsungan hidup sekolah. Nasibnya lebih
rendah daripada martabat budak: ia cuma sarana tak berjiwa.
Adalah hal yang pantas disyukuri ketika
masyarakat ikut terlibat mengelola pendidikan di negeri ini. Mereka
melakukannya dengan membangun sekolah swasta. Ada beragam alasan mengapa
membangun sekolah swasta. Kini, kita mengenal sekolah swasta berbasis
agama dan swasta nasional.
Meski demikian, kini banyak sekolah
swasta mulai kekurangan siswa, khususnya sekolah-sekolah swasta di
daerah-daerah. Di daerah-daerah terjadi persaingan mendapatkan siswa
baru.
Layaknya persaingan, berbagai jurus
digunakan untuk menggaet siswa-siswa baru. Sayangnya, jurus-jurus
persaingan yang dilancarkan acap kali jauh dari hakikat pendidikan. Itu
semacam jurus mabuk. Jurus itu dimabukkan oleh target yang penting
mendapatkan siswa.
Jurus-jurus mabuk itu berupa: rayuan
gratis uang gedung dan uang sekolah bulanan selama sejumlah waktu;
membangun sarana sehingga mengesankan sekolah megah dan mewah meski
sarana itu belum tentu dibutuhkan; tawaran fasilitas antar-jemput;
tawaran asrama; hingga—yang paling menyedihkan dan
mengkhawatirkan—memainkan muslihat isu suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Akibatnya, begitu banyak persaingan
mendapatkan siswa baru itu tak lagi sehat, kasar, pembual lagi licik.
Namun, yang lebih tragis adalah sesungguhnya hakikat pendidikan sendiri
yang ingin membentuk manusia yang tumbuh berkembang utuh bermartabat
telah dihancurkan ketika dinamika pendidikan belum dimulai. Itulah
aborsi pendidikan.
Aborsi pendidikan digencarkan kepada
orangtua calon siswa baru yang diintimidasi dengan isu SARA ketika
hendak menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah berbasis agama yang
berbeda dengan agama yang dihayati. Aborsi pendidikan juga terjadi
ketika sekolah menjanjikan pendidikan yang memanjakan siswa dengan aneka
fasilitas. Pendidikan yang memanjakan siswa dengan sarana-prasarana
efektif menghancurkan sendi-sendi karakter pembelajar siswa.
Sekolah yang gelisah
Janji fasilitas asrama juga berpotensi
mengaborsi pendidikan. Ini bisa terjadi pada sekolah yang ketika
didirikan tak dirancang sebagai sekolah yang terintegrasi dengan asrama.
Aborsi pendidikan jadi nyata ketika
setelah pembelajaran dimulai pengelola sekolah tak memberdayakan diri
dalam pengelolaan sekolah berasrama. Pengelola sekolah seperti menangkap
kejenuhan dan kewalahan begitu banyak orangtua mendampingi anaknya dan
memanfaatkannya hanya demi memperoleh siswa baru. Tanpa sadar, roh
hedonisme dan pragmatisme terinjeksi pada sekolah itu justru sebelum
dinamika pendidikan dimulai. Masih banyak wujud aborsi pendidikan yang
lain.
Semoga para orangtua lebih sadar akan
jebakan muslihat pencarian siswa baru bagi anak-anaknya. Sekolah-sekolah
yang mencari siswa baru dengan jurus mabuk yang membabi buta itu adalah
sekolah yang dikelola dengan gelisah. Dalam kegelisahan itu, mereka
akan berjuang melindungi siswanya, bukan demi mendidik, tetapi hanya
demi angka. Sebab, pada setiap siswa menjanjikan angka rupiah dari
negara yang luar biasa.
Sekolah yang memainkan isu SARA dalam
merekrut siswa baru juga berdinamika serupa. Muslihat menyelamatkan jiwa
dalam jalur SARA menjadi alasan untuk mengikat siswa. Lalu mereka
membangun benteng untuk memisahkan dan mengeksklusifkan. Dinamika
pembelajaran pun kerap kali dirancang ekstrem dan eksklusif.
Tidakkah dengan cara semacam ini
anak-anak kita sedang dikerdilkan, diciutkan horizon hidupnya, dan
efektif memasukkan mereka dalam tempurung sempit hidupnya? Anak-anak
kita tak lagi dididik dalam kemerdekaan dan kebermartabatannya.
Anak-anak kita hanyalah sarana penuntas melepas dera kegelisahan
pengelola sekolah.
Waspadalah! Cintailah anak-anak kita.
Jadikan mereka tumbuh berkembang menjadi manusia bermartabat dengan
memilih sekolah yang dikelola dengan bermartabat pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar