Bagi rakyat, pendidikan merupakan hak.
Bagi negara, pendidikan merupakan kewajiban. Adapun bagi bangsa,
pendidikan perkakas utama untuk membangun impian besarnya.
Khusus untuk Indonesia, penggagas bangsa
sudah menyampaikan impian besar itu. Maka, sekarang, pendidikanlah yang
menerima darma untuk mewujudkannya.
Rancang-bangun
Oleh karena itu, perlu disiapkan
rancang-bangun pendidikan yang membeberkan rangkaian langkah strategis
untuk menjelmakan impian besar itu. Rancang-bangun ini selanjutnya perlu
dirujuk siapa pun yang berkuasa, sebagai pegangan kebijakan pembangunan
pendidikan dan yang terkait lainnya.
Kata ‘dan’ dalam penyebutan “pendidikan
dan kebudayaan” merepotkan dan tak begitu menguntungkan karena sedikit
banyak mengesankan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal dan
terpisah. Terlebih lagi, rangkaian kebijakan selama ini juga menguatkan
kesan bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak memiliki keterkaitan
sebab-akibat.
Padahal, jika diyakini bahwa suatu
bangsa masih mungkin mengubah kebudayaan esoknya, melalui pendidikanlah
cara paling berpeluang besar. Bagaimana kehidupan bangsa esok, sejatinya
dipikirkan dan dituangkan strateginya ke dalam sistem pendidikan. Oleh
karena itu, mutlak dibutuhkan suatu rancang-bangun pendidikan untuk
kebudayaan esok. Walau terlambat, mau tak mau rancang-bangun ini perlu
dituliskan hari ini.
Tanpa rancang-bangun tersebut, berbagai
program pendidikan jadi tak logis dan akan gagal meyakinkan publik
kenapa perlu dilaksanakan. Pertanyaan mengapa perlu ada ujian kompetensi
guru, ujian nasional, Kurikulum 2013, pelatihan guru, dan lain-lain,
dengan metode serta isinya seperti sekarang tak pernah dijawab secara
memuaskan. Benang merah antarproyek itu sumir. Dampak besarnya, program
pendidikan jadi tidak tampak menyokong pengembangan kebudayaan. Di sisi
lainnya, kebijakan kebudayaan seperti berjalan sendiri dan tidak memandu
program pendidikan.
Untuk mengawali penyusunan
rancang-bangun ini, perlu dirembukkan suatu telaah kebudayaan yang
menyeluruh guna menelusuri gambaran bangsa dan kehidupan esok yang
diimpikan. Dari situ dirumuskan profil manusia yang diidamkan. Khususnya
dalam profil tersebut didaftar karakteristik manusia yang diharapkan
agar mampu berfungsi efektif dalam kehidupan bermasyarakat di dunia hari
ini dan esok. Dalam merancang strategi kebudayaan tentu perlu
mempertimbangkan fakta kemajuan sains dan teknologi. Maka, keterlibatan
saintis, teknolog, dan rekayasawan untuk merumuskan kebudayaan esok sama
pentingnya dengan keterlibatan seniman dan “budayawan”.
Pada saat yang sama, dengan melakukan
penelitian lintas disiplin, dari ilmu ekonomi sampai ilmu saraf, dapat
diprakirakan ragam kecakapan yang dituntut hari esok. Ini ditemukan
dengan mengekstrapolasi, antara lain kecenderungan kebutuhan dunia kerja
dari masa lalu sampai sekarang. Khususnya, dapat dirumuskan
keterampilan bernalar seperti apa yang akan semakin dituntut di
kehidupan esok. Demikian pula mendaftar sikap dan perangai seperti apa
yang dituntut di kehidupan mendatang.
Kemudian, dari rumusan keterampilan dan
sikap itu, perancang program pendidikan akan merekacipta rencana
pembelajaran. Pembelajaran antisipatif terencana ini menciptakan peluang
belajar sehingga warga dapat mengembangkan keterampilan dan sikap untuk
kehidupan mendatang.
Dampaknya, pendidikan menjadi berperan
penting sebagai jantung penyedia “oksigen” yang menghidupi kebudayaan.
Pendidikan menjadi organ utama dan terpadu dalam strategi kebudayaan. Di
sini, kata ‘untuk’ dan ‘esok’ merupakan dua kata kunci dari
rancang-bangun ini.
Rancang-bangun ini akan membentangkan
secara logis bagaimana bangsa ini merencanakan rute lintasan dan menata
langkah guna mewujudkan impian besarnya. Lalu, rancang-bangun menyeluruh
ini dijadikan rujukan kebijakan pendidikan ataupun kebudayaan.
Secara teknis, dari rancangbangun itu
harus dapat diturunkan, misalnya, profil lulusan perguruan tinggi, SMA,
SMP, dan SD yang diharapkan. Setelah itu, baru masuk akal mengkaji dan
membuat standar untuk tiap tahap pendidikan karena sekarang sasaran
pendidikan menjadi gamblang, membumi.
Bahkan, merancang evaluasi pendidikan
seperti ujian pemetaan pendidikan juga jadi logis karena kecakapan apa
yang perlu diukur yang relevan dengan masa kini dan esok sudah
ditetapkan. Pelatihan guru serta evaluasinya juga menjadi jelas karena
sudah dikenali kecakapan apa yang strategis untuk disemai di kelas.
Dengan pemikiran ini, kebudayaan jadi
pemandu arah pendidikan, sedang pendidikan menjadi perajut kebudayaan
esok. Kebudayaan berperan sebagai arsitek dan pendidikan sebagai teknisi
bangunan dalam menjelmakan impian besar bangsa.
“Masyarakat bisa”
Penting dicatat: mewujudkan impian besar
setaraf mendirikan bangunan nyata Borobudur atau Tembok Besar butuh
pemikiran dan kerja keras beberapa generasi. Apalagi jika yang diimpikan
gagasan visioner “keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Pemerintah
sendirian tak mungkin sanggup.
Karena itu, mau tak mau, masyarakat
harus memeloporinya dan jadi pelaku utama. Masyarakat diharapkan saling
menularkan virus “Masyarakat Bisa” untuk menyebarkan kepercayaan diri.
Ini jadi mungkin jika masyarakat meyakini impian besar bersama,
berketetapan hati, dan cakap bekerja sama. Sebaliknya, jika tak yakin
dengan impian itu, masyarakat akan jadi penonton di “tepi lapangan”
pembangunan dan penyorak semata.
Oleh karena itu, rancang-bangun dituntut
logis dengan penalaran yang runtun, dengan bahasa sederhana agar
dipahami pendidik serta masyarakat luas, dan menebarkan semangat ajakan
untuk melibatkan diri. Akhirnya, seperti juga beragamnya cara untuk
mencapai sebuah tujuan, gagasan rancang-bangun itu hanya sebuah tawaran
yang pastinya tidak tunggal. Namun, yang paling utama, perlu dituangkan
sebuah rancang-bangun untuk impian besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar